Pages

Rabu, 05 September 2012

BERSYUKUR DENGAN MATA YANG NORMAL

Terik matahari yang terus-terusan memancarkan kekuatannya dari langit membuat saya malas untuk keluar kamar, bahkan hanya untuk mengeringkan handuk bekas mandi pagi tadi. Mungpung hari Minggu, hari bebas belajar atau bahasa gaulnya “hari bermalas-malasan”, berjam –jam hanya untuk menyelesaikan novel untuk Forum Lingkar Pena (FLP) Jakarta yang sebelumnya sudah saya posting di www.abdihilap.com

Jam di dinding sudah menunjukkan jam dua siang, suara dentuman usus yang sedang menari di perut terus berontak karena sama sekali belum terisi apapun dari pagi. Karena alasan “prioritas” itulah akhirnya saya memaksakan untuk membuang rasa malu saya terhadap teriknya matahari. Begitu membuka pintu kamar, mata tidak kuat menerima cahaya yang tiba-tiba langsung datang menerkam sel-sel penerima cahaya di retina mata.

Tanpa memanaskan mesin milik “Yuruichi Honda” saya langsung tancap gas sekuat-kuatnya menuju daerah Legoso, kira-kira berjarak 1 kilometer dari kostan tanpa menggunakan helm dan jaket. Sambil mengendarai motor saya memikirkan warung tegal alias warteg yang beruntung mendapatkan rizki dari saya siang ini. Kemudian tercetuslah ide untuk mencicipi ayam penyet disamping alfa..tet..tete..tet (nama disamarkan).
Belum sampai setengah tujuan, saya dikagetkan dengan suara “Brak…Brak..”, seperti suara plastic yang berisikan benda gampang pecah. Gas motor saya pelankan dan mencoba untuk menoleh kebelakang supaya memastikan semua berjalan lancar. 

Alangkah kagetnya, ketika saya melihat seorang laki-laki memakai kaca mata hitam, beperawakan cukup tinggi, terjatuh diatas aspal dan disampingnya tergeletak kerupuk-kerupuk yang berjatuhan. Tidak ada satupun orang yang mengaku sebagai tersangka penabrak penjual kerupuk tersebut. Saya langsung turun dari motor dan membantu bapak tersebut untuk berdiri agar tidak mengganggu arus jalan.

Saya sangat kaget, ternyata bapak tersebut tidak bisa melihat alias buta. Langsung saya ajak bapak tersebut ke samping jalan dan duduk disamping tiang listrik. Karena merasa kasihan, saya mencoba untuk mengajak ngobrol mengenai keseharian dari bapak tersebut. Ternyata bapak tersebut sudah buta dari sejak kecil, menikah dengan perempuan yang tidak bisa berbicara, tinggal di sebuah kost-kostan kecil yang sudah 5 bulan belum dibayar, beliau rela mencari nafkah ditengah keterbatasan fisik agar anak nya bisa sekolah di tingkat SD. Mendengar cerita bapak tersebut, jujur bukannya lebay atau tiba-tiba saya pindah kepribadian jadi anak alay, tapi memang ceritanya patut masuk harian Istana atau DPR, agar para pemimpin disana lebih memperhatikan orang-orang seperti bapak ini.

Saya teringat dengan penjelasan salah satu dosen saya ketika mengajar modul indera, bahwa kita harus bersyukur dengan panca indera yang kita miliki dengan sempurna, diluar sana ada banyak orang yang tidak Allah anugerahi kesempurnaan penciptaan. Maka, jangan sampai mata dipergunakan untuk sesuatu yang tidak benar dan menyalahi tempatnya.

Maka sejak saat itu sampai ketika saya menulis pengalaman untuk tugas dokmus ini, saya selalu membeli kerupuk-kerupuknya dengan harga yang lebih meskipun saya tidak memerlukannya, karena hanya ingin membantu. Saya teringat dengan ucapan :
Carilah alasan alasan untuk membeli barang-barang dari penjual yang sudah tua renta, meskipun kita tidak memerlukannya.

Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar