Pages

Selasa, 10 Januari 2012

CERPEN "SATU SURAT SATU PERTEMUAN" (SESSION I )

Hidup ini aneh....

Mungkin itulah kata-kata yang akan pertama kukatakan di pagi hari ini. Maklum saja, hampir semalaman aku memimpikan tentang hari-hari sebelumnya yang seolah-olah aku kembali lagi ke masa lalu dan begitu nyata seperti aslinya.

Aku tidak ingin terus bermalas-malasan di kamar tidur. Kubuka jendela di pojok kamar dan tirainya kusingkapkan dengan perlahan-lahan. Tirai yang sudah hampir berusia dua puluh tahun ini terus menemaniku sampai aku remaja saat ini. Warna putihnya sudah agak lusuh dan kehitaman, bukan karena tidak pernah menyentuh air atau detergen, tapi karena harga tirai saat ini sudah melebihi keperluan makan sehari. Dibandingkan tidak makan, akhirnya kuputuskan untuk tidak mengganti tirainya.

Tepat jam lima pagi waktu aku melihat sepintas jam tua di ruangan tengah rumahku. Warnanya keemasan, sampai saat ini jam tua itu kelihatan bagus. Maklum, jam tersebut adalah maskawin yang diberikan ayahku waktu meminang ibu. Sesekali setiap satu jam, ia berbunyi persis seperti suara kakek-kakek yang sudah renta. Bukannya membuat orang sadar akan waktu, jam tersebut malah membuat keheningan malam jadi semakin menakutkan dengan suaranya.

Kubasuh mukaku untuk berwudu dan langsung kutunaikan shalat subuh dua rakaat. Begitu tenang di hati.

Tidak terasa matahari dari balik gunung Candra Asih, nun jauh disana sudah menampakkan diri menyinari halaman rumah yang penuh dengan tanaman. Keluar dengan perlahan-lahan. Tampak malu menyapa bumi. Namun dibalik kelembutannya ia adalah makhluk kuat dan gagah. Riakkan air dari sungai kecil di dekat rumahku pun seakan memeriahkan suasana pagi ini. Kicauan burung-burung kecil dan kokokan ayam jantan dari samping rumah seperti tidak ingin ketinggalan untuk sama-sama berpartisipasi menyambut pagi setiap harinya.

“Candra, tolong ayahmu ngasih pakan ikan di kolam, nih.” Lamunanku terputus oleh suara ibuku di dekat pintu dapur. Sosok yang begitu menjadi tauladan untukku. Suaranya merdu, tulus, dan tidak pernah memarahiku, meski saat aku sedang salah. Ia begitu bijak dengan kata-katanya, sehingga sekali-kali mataku meneteskan air mata waktu kulihat kedua tangannya penuh dengan luka irisan akibat sayatan pisau. Ia begitu bela untukku, untuk masa depanku.

Aku hidup bukan berada di keluarga yang sanggup mewujudkan semua hal yang terpintas di fikiran, ketika ada sedikit uang perlu waktu berhari-hari untuk berfikir jika hendak membeli keperluan selain kebutuhan dapur hingga karena waktu terlalu lama akhirnya uangnya keburu terpakai. Semua itu kujalani dengan penuh pengertian bahwa ini adalah hal yang terbaik yang dianugerahkan Tuhan untukku, keluarga dan masa depanku.

Bersambung....



Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar