Maksiat dari segi bahasa bermakna durhaka dan maksiat dari segi istilah adalah perbuatan yang membawa dosa yaitu yang bertentangan dengan akidah, syariat dan ajaran Islam termasuk dengan melakukan larangan Allah dan Rasul atau meninggalkan perintah Allah dan Rasulnya, dengan kata lain melakukan yang haram dan meninggalkan yang wajib.
Dalam surat An Nisa ayat 123, Allah SWT telah memperingati mengenai maksiat ini:
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“Barangsiapa yang melakukan kejahatan (maksiat dan dosa), niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”
Ada beberapa jenis maksiat, seperti maksiat kepada Allah dan Rasul yaitu meninggalkan perintahNya dan melakukan laranganNya. Maksiat terhadap mahluk yaitu maksiat terhadap manusia, maksiat terhadap hewan, alam sekitar, dan maksiat terhadap harta. Maksiat dalam bentuk apa pun baik itu kepada Allah dan Rasulnya, kepada manusia dan mahluk dapat merusakkan agama, iman, akhlak, kemuliaan diri dan kesejahteraan individu, keluarga, masyarakat, negara, dan umat.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Al jawabu Al Kaafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa’ As Syaafi menjabarkan betapa banyaknya bahaya-bahaya dari perbuatan maksiat, diantaranya:
Pertama, diharamkan memperoleh ilmu. Seperti penjelasan guru Imam Syafi’i ketika Imam Syafi’i mengeluh mengenai kesulitannya dalam menghapal, bahwasannya ilmu adalah kemuliaan dan hal ini tidak akan diberikan kepada ahli maksiat.
Kedua, diharamkannya mendapat rezeki. Dimana Rasulullah SAW bersabda bahwa seorang hamba diharamkan dari rezeki akibat maksiat yang ia kerjakan.
Ketiga, terasingkannya si pelaku maksiat dengan orang-orang disekitarnya terutama yang melakukan kebajikan, bagaikan minyak dan air.
Keempat, orang yang sering melakukan maksiat dan dosa, hidupnya akan mendapatkan kesulitan untuk segala hal karena tidak diberikan petunjuk oleh Allah SWT. Kebalikan dengan mereka yang bertaqwa akan dimudahkan oleh Allah dalam segala urusannya.
Kelima, perbuatan maksiat dan dosa itu, juga akan melemahkan kekuatan hati, tidak memiliki motivasi yang kuat dalam menjalani hidup.
Keenam, orang-orang yang hobinya berbuat maksiat, memperpendek umurnya. Orang-orang yang suka bermabuk-mabukkan, berzina, dan melakukan segala bentuk perbuatan maksiat, akan membuka pintu penyakit seluas-luasnya terhadap tubuhnya yang seharusnya hal tersebut dapat dihindari dengan menjauhi maksiat.
Ketujuh, dirinya akan selalu ingkar terhadap Allah, karena kemaksiatan itu akan membelenggu kehidupan si pelakunya.
Kedelapan, hati seseorang yang sering melakukan maksiat akan merasa tidak nyaman dan asing. “Jika kamu menemukan keterasingan dalam dirinya karena perbuatan dosa, maka segeralah tinggalkan dan jauhi dosa dan maksiat. Tak ada hati merasa tenteram dengan perbuatan dosa,” begitulah perkataan ahli makrifat.
Kesembilan, kemaksiatan dan dosa menciptakan kegelapan di hati, sedangkan kebaikan merupakan cahaya. Gelapnya hati seseorang berbanding lurus dengan kemaksiatan yang dia lakukan.
Ketika seseorang tidak terbiasa melakukan maksiat, maka akan ada rasa takut kepada Allah. Namun ketika sering melakukan maksiat, maka rasa takut itu pun hilang. Bukan berarti bahwa seseorang yang memang sudah tidak takut lagi kepada Allah ketika berbuat maksiat maka Allah telah menutup pintu rahmat atasnya. Bukan. Allah SWT bisa jadi membalikkan khusnul khotimah nanti di ujungnya, sebagaimana kisah pembunuh yang membunuh 100 orang yang kemudian masuk surga, Allah balikkan hatinya. Tadinya mungkin pertama kedua membunuh dia akan menyesal. Kemudian menjadi ketagihan. Tidak ditutup pintu rahmat bagi seseorang seberapa besar pun dosanya.
Diriwayatkan oleh At Tarmizi, Rasulullah SAW bercerita bahwa syaitan ketika dia menggoda kita, kemudian kita tidak melawannya, kita kalah, akhirnya kita melakukan maksiat mulai tercipta 1 titik hitam di hati kita. Maksiat lagi 1 titik hitam. Maksiat lagi 1 titik hitam. Ketika taubat maka noda hitam ini tercungkil. Seseorang tidak taubat-taubat sehingga hitam pun menjadi dominan pada hatinya. Pada kondisi demikian, dia tidak perlu lagi digoda syaitan untuk melakukan maksiat.
Maka musuh abadi manusia ada tiga. 1) Syaitanul jin, syaitan dari golongan jin. 2) Syaitanul ins, syaitan dari golongan manusia, menyeru mengajak mefasilitasi maksiat kemungkaran, menyeru kepada kesesesatan. 3) Annafsul ammaarah bis suu’, jiwa yang memerintahkan kepada keburukan. Ini tiga musuh manusia, abadi. Yang pertama dan kedua tadi ‘Al-lazi yuwaswisu fii suduurin naas minal jinnati wan naas.’ Yang ketiga itu yang dimana jiwa-jiwa buruk yang telah terbentuk sehingga jiwanya sendiri yang memerintahkan kepada keburukan. Tidak perlu lagi digoda oleh syaitan.
Jadi bagaimana? Minta kekuatan hati sama Allah. Kemudian dekatkan diri kepada Allah, dengan itu kita akan lebih memberikan jatah Allah dan malaikat lebih berdominan di dalam hati kita, dengan menjadikan sebab-sebabnya: tuntut ilmu, menghadiri kajian ilmu, ibadah yang benar, sempurnakan yang wajib, tambahkan yang sunnah, demikian sehingga mendapatkan siraman rohani, dan lain-lain. Ini memenangkan peranan kebaikan pada hati kita dan menekan peran keburukan pada diri kita. Kita bukan nabi SAW yang dibelah dadanya dibuang jatah syaitan, kita manusia yang di hati terjadi peperangan. Pada akhirnya, mau tidak mau kuatkan peran pasukan kebaikan.
Oleh karena itu senantiasa kita berdoa kepada Allah untuk berlindung dari perbuatan buruk.
“Ya Allah, jauhkanlah aku dari berbagai kemunkaran akhlak, hawa nafsu, amal perbuatan, dan segala macam penyakit.” (HR. Al-Hakim I/532 dan dia mengatakan: Hadits tersebut shahih dengan syarat Muslim)
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang telah aku kerjakan dan dari keburukan apa yang belum aku kerjakan.” (HR. Muslim)
Created by : Abe Umaro, materi ini disampaikan ketika modul dokter muslim di FK UIN Jakarta
Referensi
Al-Qur’an dan Hadits
Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Do’a dan Wirid, Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut Al-Qur’an dan as-Sunnah. Bogor: Pustaka Imam Asy Syafi’i. 2007.